Selain menjawab pertanyaan penting seputar mengapa dia orang yang
kamu pilih, apakah benar dia pasangan yang kamu harapkan, merefleksi
kembali kelebihan dan kekurangannya, termasuk kesiapan berhadapan dengan
perbedaan prinsip dan cara pandang, ada hal penting yang wajib
dipersiapkan: mental, kesehatan, keuangan, investasi, termasuk masa
depan pekerjaanmu.
Sudahkah siap secara mental?
Kesiapan
mental. Ketika memutuskan menikah, artinya kamu harus siap menerima
pasangan, hidup bersama pasangan dalam satu atap, juga menjalin relasi
baik dengannya. Yang kamu perlukan di sini adalah kematangan psikologis
agar lebih mudah menjalin komunikasi, menerima keadaan, dan lebih dewasa
mengelola konflik atau masalah, ungkap psikolog Lisnawati dari
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Aktivis perempuan dan anak,
Rabiah Al Adawiyah, juga mengatakan tak cuma legal secara agama atau
negara, pernikahan harus dilaksanakan dengan persiapan matang, baik
kesiapan fisik, mental, maupun perekonomian yang memadai. “Jangan hanya
ikut tren dan asal halal, perlu dipikirkan persiapannya,” ungkapnya.
Kesiapan
lain adalah soal menerima anggota keluarga baru yang juga harus
diperhatikan. Bagian ini cukup sulit, tapi tak ada pilihan selain
belajar menyayangi keluarga pasanganmu sama seperti menyayangi keluarga
sendiri. Ingat, perlakuan berbeda sangat mungkin menimbulkan
kecemburuan, jadi bersikaplah adil. Tak berhenti di sana, memutuskan
menikah, kamu pun harus fokus membangun keluarga kecil, yang artinya
mengurangi waktu dan perhatian di luar permasalahan rumah tangga,
seperti pekerjaan, teman-teman, bahkan hobi. Saatnya bertanggung jawab
pada keputusan besar yang sudah kamu pilih, dan lagi-lagi, butuh mental
yang kuat di masa awal penyesuaian status barumu nanti.
Penting: premarital medical check up!
Hal
ini penting, tapi kerap disepelekan. Menjelang pernikahan, sangat perlu
memeriksakan kesehatanmu dan pasangan, termasuk mengecek kesuburan
masing-masing plus melakukan imunisasi. Yang paling umum dilakukan
adalah pemeriksaan TORCH: Toxoplasmosis, Other (syphilis), Rubella,
Cytomegalovirus (CMV), dan Herpes simplex virus (HSV). Sebagian orang
menganggap bagian ini tak penting, padahal sikap saling terbuka masalah
kesehatan masing-masing, menurut dr. Frizar Irmansyah dari RS Pusat
Pertamina, sangatlah dibutuhkan. Fungsinya, antara lain, mencegah
penularan penyakit, mendeteksi kelainan bawaan, sampai mengecek
kebugaran masing-masing.
Tes kesehatan sebenarnya bisa dilakukan
kapan pun, tapi yang membedakan dengan tes pra-menikah adalah hasilnya
yang berpengaruh juga pada pasangan, dan calon anak. “Hal ini pada
akhirnya juga menjadi pembuktian cinta, masih mau menerima atau tidak
setelah mengetahui kondisi kesehatan pasangan,” jelas dr. Frizar.
Bekal finansial masih menjadi kebutuhan utama
Masalah
keuangan dan harta memang paling sensitif. Namun, siap berumah tangga,
siap pula mengorek-korek bagian yang satu ini. Seorang teman mengaku
sempat mengalami kebingungan saat akan memutuskan membeli rumah atau
mobil lebih dulu ketika akan menikah. “Kalau membeli rumah dulu kami
bingung bagaimana dengan transportasi ke kantor. Padahal, dengan uang
yang kami punya hanya mampu membeli rumah di pinggir Jakarta. Nah, kalau
membeli kendaraan dulu, kami tak punya tempat tinggal,” ungkapnya.
Teman lain memimpikan bisa mandiri dalam hal segalanya, tak cuma
finansial. “Di mana-mana pasangan menikah maunya memiliki rumah sendiri,
pisah dari orangtua. Itu juga yang menjadi mimpiku saat ini,” jelasnya.
Menikah
tak semudah meresmikan hubungan di mata agama maupun hukum. Hidup
bersama memiliki persoalan yang jauh lebih rumit dari hal itu, karena
banyak yang mesti direncanakan dengan matang. Perencana keuangan Felicia
Imansyah dari Taatadana Consulting menegaskan, masa awal pernikahan
merupakan masa penting pembangunan pondasi keuangan keluarga untuk masa
mendatang datang karena makin lama kebutuhan keluarga akan semakin
kompleks dengan bertambahnya anak, usia, dan kebutuhan hidup. Untuk itu,
berusahalah untuk bisa menghidupi diri sendiri, baru memutuskan berumah
tangga dan berbagi rezeki bersama, agar bisa lebih bijak dalam
mengelola keuangan dan kebutuhan. Mengerti bagaimana perjuangan
mendapatkan rezeki, mengerti pula cara memanfaatkannya dengan baik.
Masalah fasilitas apa yang akan lebih dulu dimiliki, semua kembali pada
kebutuhan masing-masing. Segala keputusan lebih baik dibicarakan bersama
pasangan, dan yang terpenting, sesuai anggaran yang ada.
Membuat tabungan masa depan
Perencana
keuangan dari Prime Planner, Muhamad Ichsan, mengusulkan tiap pasangan
menyisihkan uang sebagai bekal di masa tua, memenuhi kebutuhan jangka
panjang maupun kebutuhan tak terduga yang membutuhkan dana tak sedikit.
“Kita juga harus mulai memikirkan tabungan untuk masa depan. Tak cuma
untuk aku dan suami dan dana cadangan yang bisa dipakai sewaktu-waktu,
tapi juga dana untuk calon anak kami,” ujar seorang teman lain yang kini
tengah mengandung anak pertamanya. Dana untuk sang anak pun tak
main-main, dia dan sang suami sudah menyiapkan asuransi dan investasi.
Nantinya, dana tersebutlah yang bisa dipakai untuk biaya persalinan
sampai pendidikan. “Aku juga menyiapkan dana untuk kedua anakku dalam
bentuk investasi emas. Berjaga-jaga kalau suatu saat kami kurang
beruntung, tak bisa membiayai hidup, mereka sudah punya dana yang
menjamin kesejahteraan mereka,” jelas teman lain yang sudah 4 tahun
menikah dan memiliki 2 orang anak.
Nasib karier setelah status baru disandang.
Banyak
kasus, perempuan meninggalkan pekerjaannya setelah menikah, atau
setelah melahirkan anak pertama. Ini dilakukan untuk memprioritaskan
keluarga ketimbang pekerjaan. Tak sedikit pula yang tetap berkomitmen
meneruskan karier dan mencari nafkah untuk membantu suami. Yang harus
diingat, yang utama tetaplah keluarga, karena jabatan dan pendapatan
menjadi tak berarti kalau kehidupan rumah tangga berantakan? Psikolog
Adriana S. Ginandjar membenarkan betapa sulitnya perempuan menjalankan
peran multifungsi sebagai ibu rumah tangga, istri, anggota masyarakat,
sekaligus perempuan karier dengan sukses, “Maksimal semua peran itu bisa
dilakukan secara seimbang,” pesannya. Ya, dilakukan dengan seimbang dan
tetap pada satu tujuan, demi kesejahteraan keluarga. Kalau kemudian
karier tak bisa menjamin keluarga utuh, sudah tahu kan, mana yang mesti
dikorbankan?
Sebagai intermeso, sudah membaca novel Oksimoron-nya
Isman H. Suryaman? Bicara tentang pernikahan, novel ini pas untuk
dibaca. Menceritakan kehidupan pernikahan Alan dan Rine, berbagai
realitas bertebaran di dalamnya. Kebahagiaan hampir tak datang sesering
ketika awal mereka memutuskan berkomitmen karena pasangan suami-istri
harus berjuang menghadapi bermacam hal yang bertolak belakang, mulai
dari orangtua, mertua, tetangga, kerukunan, keharmonisan rumah tangga,
kehamilan, sampai kehadiran orang ketiga. Bahwa, pernikahan bukanlah
cerita dongeng dengan akhir yang pasti membahagiakan, melainkan cerita
drama yang akhir kisahnya, tergantung bagaimana kamu dan pasanganmu
menjalaninya.
Pernikahan bukanlah akhir dari kisah cinta,
melainkan awal dimulainya petualangan pasangan yang saling mencintai dan
berkomitmen sebeban-sepenanggungan, sehidup-semati. Dan ini bukanlah
sebuah petualangan yang mudah. Untuk bisa melaluinya, perlu pondasi yang
kokoh. 5 bekal utama yang kamu butuhkan sudah kami bagikan, sekarang
saatnya bersiap melangkah ke status baru yang penuh dengan persoalan
baru tapi menyenangkan karena dilewati bareng si belahan jiwa.
Dari : http://id.she.yahoo.com/selain-cinta-wajib-tahu-5-hal-ini-sebelum-085451204.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar